temanku menulis buku, aku?

Aku punya teman SMA, kelas satu dulu. Namanya Aldila Tabah. Laki-laki. Dia tahu aku sering menulis sejak aku kelas satu. Dia secara reguler membaca tulisan-tulisanku, dan terinspirasi dari sana. Dia menjadi salah satu pembaca setia tulisan-tulisanku. Sampai kelas dua SMA kalau tidak salah.

Kemungkinan dia salah satu fansku. Karena tas selempangku yang unik banget, diminta sama dia, dan hal-hal kreatif yang aku lakukan, ditiru. Lumayan banyak sih. Aku tipe-exin tasku pake kata-kata tertentu, dan dia begituin juga tasnya. Haha, GR banget aku.

Tapi sekarang, aku ketemu dia di facebook, dan meskipun dia sekarang tidak melakukan apa yang aku lakukan dan mengalami apa yang aku alami, sekarang dia udah nulis buku, dan bukunya dijual di Gramedia. Aku diminta beli, tapi aku minta digratisin, tapi dia gabisa ngasih. Yah, tapi masalahnya bukan aku harus bayar buku itu 67ribu.

Tapi temenku yang dulunya terinspirasi dariku yang suka nulis, sekarang malah udah melampaui aku dengan membuat buku dan dijual di Gramed.

Bukan, masalahnya bukan kamu, Nad, yang memandang sinis tulisannya, berkarakter atau tidak, berkualitas atau tidak dan kamu tidak menilai tulisanmu sendiri di sini: ini semua sampah atau tidak. Haah..

Masalah utamanya: kenapa dia berkembang jauh lebih pesat selama beberapa tahun terakhir ini dibandingkan dengan dirimu? Dan kenapa semua orang disekitarmu berkembang jauh lebih cepat daripada kamu? Kenapa kamu tidak ada bedanya dengan kamu setahun atau dua tahun lalu? Apa yang terjadi denganmu? Apa yang udah kamu lakukan setahun dua tahun terakhir ini? Apa, Nad?!

Pembelaan dari dirimu berkata. Aku itu aku. Aku menjalani hidupku sendiri. Aku punya jalan hiduku sendiri yang tidak sama dengan yang lain. Tujuan-utujuan hidupku berbeda dengan yang dimiliki orang lain. Terserah temanku menulis buku, toh berjuta-juta orang di dunia ini menulis buku, sama saja. Terserah semua orang berkembang pesat sekarang, waktuku berkembang seperti itu sudah lewat beberapa tahun yang lalu, dan waktu berkembang tahap selanjutnya mungkin akan tiba dengan sendirinya beberapa bulan lagi. Lantas, apa yang perlu diirikan?

Aku sudah bilang, dipublikasikannya tulisanku itu tidak berarti aku sukses atau semacamnya. Artis-artis sampah yang sok cerdas dan ingin dinilai cukup pintar pun bisa menulis buku. Aku kan juga sudah punya idealisme: buku yang aku keluarkan haruslah buku yang benar-benar bagus. Sehingga dengan satu buku itu aku sudah mengeluarkan seluruh pemikiran dan pandangan bagus yang pernah hadir di kepalaku selama aku hidup di dunia.

Kalau aku menulis buku, menulis setiap hari, tapi mungkin hanya sedikit yang dijilid, atau dijadikan buku komersil. Menulis buku itu sama saja omong kosong kalau tujuannya agar terkenal, atau agar sombong karena sudah menulis buku, sama saja dengan omong kosong kalau yang dicari hanyalah uang, biar cepat kaya, begitu.

Menulis, kemudian mempublikasikannya secara massal, harus dengan sebuah idealisme, bahwa tulisan itu harus membawa banyak perubahan bagi hidup orang lain. Harus ada kebaikan didalamnya. Bukan hanya menjual kertas, tinta, dan lem kemudian merasa bangga karenanya.

Mungkin sekarang aku tidak mencapai apa-apa dalam hidupku kalau orang lain melihat seperti itu. Aku akui, memang belum menulis buku apapun. Tapi aku menulis setiap hari, dan suatu saat jadi buku. Buku-bukuku hadir ketika aku sudah selesai dengan hidupku. an buku-buku itu berisi tentang segala hidupku.

Jadi aku tidak boleh iri pada siapapun.

Nadia Aghnia Fadhillah
10 Juli 2009

0 komen:

Posting Komentar

katakan apa yang kamu pikirkan,

aku

Foto saya
Jogja, Indonesia
freeLANDer, freeTHIINKer, freeWRITEr, freeREADer, architect, creativeDESIGNer, PHOTOSHOPer, CORELer, GUITARist, PILOKer, DISCUSSier, EATer, LAUGHer, LOVEr

fans-fansku, hehe

blog yang lain

tulisan masa lalu

kamu orang ke:

Counter